(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu
Abdillah Muhammad Afifuddin)
Gharib Jamal, salah satu peletak batu
pertama bank Islam dalam makalahnya Al-Masharif wa Buyut At-Tamwil (hal. 45)
menerangkan bahwa bank Islam adalah setiap lembaga yang bergerak di bidang
perbankan yang berkomitmen menjauhi sistem pembungaan ribawi.
Dr. Abdullah As-Sa’idi menyebutkan
definisi yang lebih detail:
“Lembaga perbankan berorientasi bisnis yang
dibangun di atas syariat Islam.” (Ar-Riba, 2/1021)
Menilik definisi di atas, bisa kita
simpulkan bahwa bank-bank syariah memiliki ruang gerak yang cukup luas:
1. Bergerak di bidang mashrafiyah
(keuangan), dalam hal ini yang paling menonjol adalah masalah wadi’ah
(simpanan/deposito).
2. Bergerak di bidang tijariyah
(bisnis).
a. Sistem bagi hasil (profit
sharing)
Di dalamnya terdapat masalah
musyarakah (partnership, project financing participation), mudharabah (trust
financing, trust investment), muzara’ah (harvest yield profit sharing), dan
musaqah (plantation management fee based an certain portion of yield).
b. Sistem jual beli (sale and
purchase)
Di dalamnya terdapat masalah
- Murabahah (deferred payment
sale/jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati)
- Bai’us Salam (infront payment
sale/pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran
dilakukan di muka)
- Istishnaa’ (purchase by order or
manufacture/kontrak antara pembeli dan penyedia barang. Dalam kontrak ini,
penyedia barang menerima pesanan dari pembeli)
Dalam praktiknya, bank-bank syariah
mengembangkan ruang gerak mereka lebih luas seperti:
a. Bergerak di bidang sewa/leasing
(operational lease and financial lease/akad pemindahan hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti perpindahan kepemilikan
atas barang atau jasa itu sendiri) yang dikenal dalam fiqih Islam dengan nama
ijarah.
b. Bergerak di bidang jasa
(fee-based services). Di dalamnya terdapat cukup banyak masalah antara lain:
wakalah (deputyship/ pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain
dalam hal-hal yang diwakilkan), kafalah (guaranty/jaminan yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau
tertanggung), hiwalah (transfer services/ pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya, atau merupakan pemindahan
beban utang dari orang yang berutang menjadi tanggungan orang yang berkewajiban
membayar utang), rahn (mortgage/menahan salah satu harta benda tak bergerak
milik peminjam sebagai jaminan atau hipotek), dan qiradh (soft and benevolent
loan/pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali.
Dengan kata lain, meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan).
Dari definisi di atas, juga nampak
jelas komitmen yang menjadi landasan bank syariah, yaitu:
1. Semua upaya, usaha, bisnis, dan
gerak mereka harus dibangun di atas syariah Islam.
Komitmen ini penerapannya cukup
menyeluruh, meliputi hal-hal sebagaimana berikut:
a. Akad dan aspek legalitas
Setiap akad dalam perbankan syariah,
baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus
memenuhi ketentuan akad, berupa rukun-rukunnya yang meliputi: penjual, pembeli,
barang, harta, akad, dan juga syarat-syaratnya, seperti:
- Barang dan jasa harus halal
- Harga barang dan jasa harus jelas
- Tempat penyerahan (delivery) harus
jelas
- Barang yang ditransaksikan harus
sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki
atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaksi shortsale1 di pasar modal.
b. Bisnis dan usaha yang dibiayai
Dalam perbankan syariah, suatu
pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok. Di
antaranya:
- Apakah obyek pembiayaan halal atau
haram?
- Apakah proyek menimbulkan
kemadharatan untuk masyarakat?
- Apakah proyek berkaitan dengan
perbuatan mesum/asusila?
- Apakah proyek berkaitan dengan
judi?
- Apakah proyek dapat merugikan
syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
c. Lingkungan kerja dan corporate
culture (budaya perusahaan)
Hal ini meliputi masalah etika
karyawan. Mereka harus bersifat amanah, shidiq (jujur), dan fathanah
(cerdas). Juga cara berpakaian dan tingkah laku para karyawan harus
mencerminkan bahwa mereka bekerja pada sebuah lembaga keuangan yang membawa
nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang terbuka dan tingkah laku yang
kasar.
2. Menjauhi dan menghilangkan segala
sesuatu yang mengandung unsur riba.
Komitmen ini tertuang dalam beberapa
ketetapan di hasil muktamar bank Islam internasional, disampaikan oleh salah
seorang pejabat teras mereka yang bernama Dr. Abdul Aziz Najjar:
a. Bunga dari segala transaksi
qiradh (pinjam-meminjam) adalah riba yang diharamkan. Sebab nash-nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah secara tegas mengharamkan semua praktik qiradh dengan sistem di
atas.
b. Riba adalah haram, sedikit atau
banyak. Ini diambil dari pemahaman yang shahih terhadap firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Ali ‘Imran: 130)
c. Meminjamkan sesuatu secara
riba adalah haram, tidak diperbolehkan walaupun dalam kondisi butuh atau
darurat.
Mencari pinjaman (meminjam) dengan
cara riba adalah haram, berdosa, kecuali bila dalam kondisi yang sangat
darurat. Pernyataan ini dinukil dalam kitab Al-Mausu’ah Al-‘Ilmiyah wal
‘Amaliyah lil Bunuuk Al-Islamiyah (3/126). (Lihat Ar-Riba, Dr. As-Sa’idi
(2/1021-1025), Bank Syariah, Antonio (hal. 29-34).
Wallahu a’lam.