Bank Syri’ah
Perbankan syari’ah adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Menurut undang-undang
perbankan syari’ah no. 21 Tahun 2008, dinyatakan bahwa:
Bank adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
Bank Syari’ah adalah bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syari’ah disebut Bank Umum Syari’ah dan Bank pembiayaan rakyat syari’ah.
usahanya berdasarkan prinsip syari’ah disebut Bank Umum Syari’ah dan Bank pembiayaan rakyat syari’ah.
Perbankan Syari’ah bertujuan menunjang pelaksanaan
pembagunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan
pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional, perbankan syari’ah telah berpegang pada prinsip syari’ah
secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten (istiqamah).
Prinsip syari’ah merupakan kata kunci yang sangat penting
dalam memahami perbankan syari’ah, ada dua prinsip syari’ah. Pertama, prinsip
syari’ah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankanberdasarkan fatwa
yang dikembangkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa
di bidang syari’ah. Lembaga yang memiliki kewenangan di bidang syari’ah selama
ini adalah MUI melalui DNS (Dewan Syari’ah Nasional). Kedua, bahwa kegiatan
yang sesuai dengan prinsip syari’ah, adalah kegiatan usaha yang tidak
mengandung unsur:
- Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil), antaralain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitasnya, kuantitas dan waktu penyerahan, atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang di terima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah).
- Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan.
- Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syari’ah.
- Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syari’ah
- Zalim, yaitu transaksi yang meimbulkan ketidak adilan bagi pihak lainnya.
Terlepas dari persoalan diatas perbankan syari’ah harus
melaksanakan dua tugas sekaligus. Sebagai perusahaan, perbankan syari’ah
bertugas mencari keuntungan. Namun, dengan memperhatikan prinsip syari’ah, maka
perbankan syari’ah harus mencari keuntunga secara halal. Perbankan syari’ah
harus terus melakukan ijtihad ekonomi. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh
dari para ahli untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak
ditentukan secara rinci dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi (Hadits).
Perbankan Syari’ah sebagai salah satu sistem perbankan
nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi
berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi maksimum bagi
pengembangan ekonomi nasional. Salah satu sarana pendukung yang penting adalah
berlakunya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristiknya. Perbankan
syari’ah bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.
Untuk mencapai tujuan tersebut bank syari’ah wajib menjalankan fungsi
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Disamping itu bank syari’ah juga
menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari zakat, infak, shadaqoh, hibah, wakaf, atau dana
sosial lainnya.
b. Dasar Hukum
Dalam hukum bisnis syari’ah, untuk menentukan halal haramnya
suatu transaksi harus mengacu pada ketentuan hukum syariat yang bersumber pada
Al-Qur’an dan Hadits. Menurut ketentuan syari’at, sistem bunga bank (interest)
adalah sama dengan riba yang haram hukumnya.
“dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).” (QS.Ar-Rum:39)
“orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
(QS.Al-Baqarah:275)
c. Bentuk-bentuk Riba
Dalam
ilmu fiqih dikenal tiga jenis riba, yaitu sebagai berikut
1.
Riba
Fadhal
Riba fadhal disebut juga riba buyu’,
yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis, namun dengan kadar dan
takaran yang berbeda baik di tinjau dari segi kualitas (mitslan bi mitslin),
kuantitas (sawaan bi sawaain), dan penyerahan yang tidak dilakukan
secara tunai (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung gharar,
yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang
dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan dzalim terhadap
salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
2.
Riba
Nasi’ah
Yaitu riba yang terjadi karena
adanya konpensasi atas penundaan pembayaran. Riba nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, maupun tambahan antara yang di serahkan saat ini dengan
yang akan di serahkan kemudian. Penambahan itu dilakukan hanya berdasarkan
perubahan waktu tanpa memperhatikan kriteria untung muncul bersama resiko (al
ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha yang muncul bersama biaya (al kharaj
bi dhaman). Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam
pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro, dan
lain-lain.
3.
Riba jahiliyah
Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok
pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu
yang telah ditetapkan.Riba jahiliyah dilarang karena terjadi pelanggaran kaidah
“kullu qardin jarra manfa’atan fahua riba” (setiap pinjaman yang
mengambil manfaat adalah riba). Memberi pinjaman adalah transaksi kebaikan
tidak boleh diubah menjadi transaksi yang bermotif bisnis. Dalam perbankan
konvensional riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi
kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
d. Perbedaan antara Riba dan Bagi hasil
Kecenderungan masyarakat menggunakan sistem bunga (interest)
bertujuan untuk mengoptimalkan kepentingan pribadi, sehingga kurang
memperhatikan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya. Berbeda dengan sistem
bagi hasil (profit sharing), yang berorientasi pada kemitraan untuk mencapai
kemaslahatan bersama.
e. Macam-macam Bank Syari’ah
Bank
syari’ah sebagai lembaga keuaga secara umum terbagi menjadi dua macam yaitu:
1.
Bank
Umum Syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran. Bank umum merupakan suatu badan usaha yang kegiatan
utamanya menerima simpanan dari masyarakat atau pihak lainnya, kemudian
mengalokasikannya kembali untuk memperoleh keuntungan serta menyediakan
jasa-jasa dalam proses pembayaran.
Bank
umum syari’ah tidak dapat dikonversi menjadi bank umum konvensional. Tetapi
sebaliknya, bank umum konvensional setelah mendapat izin dari BI dapat dikonversi
menjadi bank umum syari’ah.
2.
Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank pembiayaan rakyat
syari’ah, tidak bisa dikonversi menjadi bank perkreditan rakyat. Berbeda dengan
bank umum syari’ah, bank pembiayaan rakyat syari’ah (BPRS) tidak diizinkan
untuk membuka kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya diluar
negri.
f. Pendirian Bank Syari’ah
Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha bank
syari’ah, wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. Untuk
memperoleh izin, lembaga perbankan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip-prinsip syari’ah harus memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya memuat
tentang :
- Susunan organisasi dan kepengurusan
- Permodalan
- Kepemilikan
- Keahlian di bidang perbankan syari’ah
- Kelayakan usaha.
Ketentuan
ini berlaku baik untuk pembentukan bank umum syari’ah maupun bank pembiayaan
rakyat syari’ah. Bank syari’ah yang mendapat izin usaha, wajib mencantumkan
dengan jelas kata”syari’ah” pada penulisan nama banknya.
2. PRODUK BANK SYARI’AH
Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan
syari’ah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu:
- Produk penghimpunan dana (funding)
- Produk penyaluran dana (financing)
- Produk jasa (service)
Perbankan
syari’ah berperan sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial
intermediary institution) antara unit-unit ekonomi yang mempunyai kelebihan
dana (surplus of funds) dengan unit-unit lain yang mengalami kekurangan
dana (lack of funds). karenanya untuk menjalankan fungsi intermediasi
tersebut, lembaga perbankan syari’ah akan melakukan kegiatan usaha berupa
penghimpun dana, penyaluran dana, serta menyediakan berbagai jasa transaksi
keuangan kepada masyarakat.
1. Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana dalam perbankan syari’ah dapat diwujudkan
baik dalam bentuk simpanan maupun investasi. Penghimpunan dana dalam bentuk
simpanan wujudnya berupa Giro, Tabungan, berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah. Sedangkan penghimpuna dana dalam bentuk
investasi wujudnya berupa deposito, juga berdasarkan akad yang tidak
bertentangan dengan prinsip syari’ah, yaitu dengan menggunakan prinsip
wadi’ah dan mudharabah.
1.
Prinsip wadi’ah
Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad
dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah
berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada
prinsipnya harta titipan tidak boleh dimafaatkan oleh yang dititipi. Sementara
itu dalam hal wadi’ah dhamanah pihak yang dititipi (bank) bertanggung
jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memenfaatkan harta titipan
tersebut.
Karena wadi’ah yang ditetapkan dalam produk giro perbanka
ini juga disifati dengan yad dhamanah, dimana nasabah menjadi sebagai yag
meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.
Keuntungan
umum dari produk ini adalah:
- Keuntungan
atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu intensif
untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.
- Bank
harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana
yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syari’ah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat
memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
- Terhadap
pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk
sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
- Ketentuan-ketentuan
lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama
tidak bertentangan dengan syari’ah.
2.
Prinsip mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau
deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai
mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan
murabahah atau ijarah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah
yag disepakati.
Rukun mudharabah terpenuhi sempurna jika (ada mudharib
atau pengelola, ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada
nisbah, dan ada ijab Kabul). Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk
tabungan berjangka dan deposito berjangka.
2. Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar
produk pembiayaan syari’ah terbagi kedalam empat kategori yang dibedakan
berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:
- Pembiayaan dengan prinsip jual beli
- Pembiayaan dengan prinsip sewa
- Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
- Pembiayaan dengan akad pelengkap
Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk memiliki
barang, sedangkan yang menggunakan prinsip sewa ditujukan untuk mendapatkan
jasa. Prinsip bagi hasil digunakan untuk usaha kerja sama yang ditujukan
guna mendapatkan barang dan jasa sekaligus.
1.
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya
perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan
di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk
pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yakni sebagai berikut:
a.
Pembiayaan Murabahah
Murabahah (al ba’i bi tsaman ajil)
lebih dikenal dengan murabahah, yang berasal dari kata ribhu (keuntungan),
adalah transaksi jual beli dimana bank menyebutkan jumlah keuntungannya. Bank
bertindak sebagai penjual, nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga
beli bank ditambah keuntungan (margin).
Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka
waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah
disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan
murabahah selalu dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman al
muajjal). Dalam transaksi ini barang diserahkan langsung setelah akad,
sementara pembayarannya dilakukan secara tangguh atau cicilan.
b.
Pembiayaan salam
Salam adalah transaksi jual beli dimana
barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan
secara tangguh atau dicicil sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank
bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual. Dalam transaks ini
kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara
pasti. Dalam praktik perbankan, krtika barang telah diserahkan ke vank, maka
bank akan menjualnya kepada rekan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri
secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan oleh bank adalah
harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan.
c.
Pembiayaan Istishna’
Produk istishna’ meyerupai produk salam, tapi dalam
istishna’ pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali pembayaran.
Ketentuan untuk pembiayaan istishna’ adalah spesifikasi barang pesanan harus
jelas seperti jenis, ukuran, mutu, dan jumlahnya. Harga jual yang telah
disepakati dicantumkan dalam akad istishna’ dan tidak boleh berubah selama
berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi
perubahan harga setelah akad ditandatangani, seluruh biaya tambahan ditanggung
nasabah.
2.
Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi,
pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli, objek
transaksinya adalah barang, pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang
disewakannya pada nasabah. Karena itu dalam perbankan syari’ah dikenal ijarah
muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan).
Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
3.
Prinsip Bagi Hasil
Produk
pembiayaan syari’ah yang didasarkan atas prinsip bagi hasil adalah sebagai
berikut:
a.
Pembiayaan Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah
atau syarikah). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak
yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara
bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana
mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang
berwujud maupun tidak berwujud.
b.
Pembiayaan mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih,
dimana pemilik modal ( shahib al maal) mempercayakan sejumlah modal
kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerja sama dalam padua kontribusi 100% modal
kas dari shahib al maal dan keahlian mudharib.
Sebagai orang kepercayaan mudharib atau pengelola harus
bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi
akibat kelalaian. Perbedaan dasar dari musyarakah dan mudharabah terletak pada
besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu.
Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam
musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
Musyarakah dan mudharabah dalam literature fiqih berbentuk
perjanjian kepercayaan( uqud al amanah) yang menurut tingkat kejujuran
yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing harus menjaga
kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak
untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul
akan merusaj ajaran islam.
4.
Akad pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya
diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, tapi ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan.
Uraian
berikut ini akan membahas akad-akad pelengkap,yaitu:
1.
Hiwalah (Alih Utang Piutang)
Tujuan fasilitas hiwalah adalah untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti
biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang
akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang
dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
Contoh, katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada
pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian . karena kebutuhan supplier
akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank
akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
2.
Rahn (gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran
kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang
yang digadaikan wajib memenuhi kriteria:
- Milik
nasabah sendiri
- Jelas
ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar
- Dapat
dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank
Atas izin bank nasabah dapat menggunakan barang tertentu
yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang
digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, nasabah
harus bertanggung jawab.
3.
Qardh
Qardh
adalah pinjaman uang. Apikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal,
yaitu:
- Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya kehaji.
- Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syari’ah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
- Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
- Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank, pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.
4.
Wakalah (perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila, nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa
tertentu, seperti transfer, dan lain-lain.
Kelalaian
dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena
nasabah, menjadi tanggung jawab nasabah.
5.
Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin
pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk
menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn (gadai). Bank dapat
pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Untuk jasa-jasa ini, bank
mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
3. Produk Jasa ( Jasa
Perbankan)
Selain menjalankan fungsinya sebagai penghubung antara pihak
yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana, bank syari’ah dapat
pula melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat
imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain
berupa:
1.
Sharf ( Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual beli valuta asing, sejalan dengan prinsip
sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannnya harus
dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli
valas ini.
2.
Ijarah (sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (
save deposit box) dan jasa tata laksana adminstrasi dokumen (custodian).
Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.